Thursday, January 17, 2008

Bukan Belanja Iklan, Tapi Maksimalkan PR

PERTENGAHAN tahun 2003 lalu, Philip Kotler pernah melontarkan gagasan kepada para bisnisman, agar mulai memindahkan lebih banyak anggaran iklan untuk mendanai operasional Public Relations (selanjutnya baca: PR).

Menurutnya, belanja iklan di tengah maraknya saluran informasi, televisi, koran, dan radio, sudah tidak lagi efektif sebagaimana lima tahun sebelumnya. Sebab, pemirsa dengan mudahnya memindahkan chanel saat iklan diputar. Lain dari itu, Kotler juga mengatakan, ada sembilan dari sepuluh konsultan PR besar di dunia sekarang ini ternyata dimiliki oleh biro-biro iklan.
Dengan kata lain, gagasan Kotler itu ingin mengatakan bahwa hubungan antara perusahaan dengan pihak luar, - baik menyangkut produk maupun citra perusahaan, sangat ditentukan oleh peranan PR yang dikelola suatu perusahaan dengan peranan PR-nya.

Rasanya, gagasan Kotler tersebut akan terjawab meyakinkan melalui buku ini. Melalui keseriusan riset dan pengalamannya bertahun-tahun sebagai akademisi dan praktisi PR, Kusnadi Suhandang ingin menekankan pentingnya paradigma baru memandang seluk beluk PR mulai dari konsep dasar, visi, dan implementasinya.
Sebagai bagian dari manajemen perusahaan/organisasi, PR berorientasi pada aktivitas yang dilakukan oleh industri, perusahaan, perserikatan, organisasi sosial, atau jawatan pemerintah, untuk menciptakan dan memelihara hubungan yang sehat dan bermanfaat dengan maksud menyesuaikan dirinya pada keadaan sekeliling dan memperkenalkan diri pada masyarakat. (halaman 46).

Minimal ada dua fungsi utama PR yang utama dalam perusahaan. Pertama, PR bertujuan mendapatkan dan menambahkan penilaian serta jasa bagi perusahaan. Kedua, secara defensif berusaha menjadi sarana pembelaan diri terhadap pendapat negatif tatkala menerima penyerangan yang tidak wajar dari pihak luar. (Sementara perusahaan tersebut tidak melakukan kesalahan) .

Pada tataran praksisnya, implementasi PR mengarah pada tiga bidang kerja, yakni marketing, publishing dan dokumentasi. Pada dua bidang marketing dan publishing mungkin memang demikian fungsi PR. Tapi, kenapa dokumentasi dimasukkan sebagai salah satu komponen dari fungsi PR?

Dari sini, Kustadi ingin mempertegas bahwa posisi PR yang notabene adalah penyambung lidah perusahaan tidak hanya bertugas sebagai chanel of information (saluran informasi), melainkan juga merupakan jembatan yang menghubungkan saluran informasi dari publik ke dalam perusahaan.
Adapun kewajiban PR adalah melaksanakan kebijakan manajer perusahaan dalam memperkenalkan produk barunya dan mempengaruhi masyarakat yang akan memakai barang atau jasa (produksi) yang baru tersebut.
Sedangkan terhadap pihak internal perusahaan, PR mempunyai kewajiban memberikan penjelasan tujuan dari setiap kebijakan agar semua pihak merasa terpanggil dan mau menyukseskan program perusahaan sesuai dengan visi manajer (halaman 62).

Dari sini terlihat, PR mempunyai dua arah komunikasi. Dari dua arah ini, tugas terberat PR adalah keberhasilannya mewujudkan hubungan yang harmonis antara perusahaan dengan publik melalui sarana yang positif berupa, public understanding (pengertian publik), publik confidence (kepercayaan publik), public support (dukungan publik) dan public cooperation (kerja sama publik) (halaman 180)
Lekatnya bidang PR dengan dunia komunikasi, secara otomatis mengarahkan proses komunikasi PR berhadapan dengan dua bentuk hubungan yang berbeda strateginya, yakni hubungan secara psikologis dan hubungan sosiologis dengan publik. Yang pertama, kegiatan PR dihadapkan pada masalah-masalah yang berhubungan dengan opini publik dan proses persuasi. Sementara yang kedua dihadapkan pada masalah-masalah yang berkaitan dengan komunikasi massa, human relations dan group relation.
Kompetisi dalam pasar bebas sekarang sangat erat kaitannya dengan maraknya media massa, koran, radio, televisi dan internet. Media massa bagi PR bukanlah sekadar mitra kerja yang sifatnya sementara, melainkan bersifat permanen.

Saking pentingnya media massa, penggelola PR dituntut untuk mengenal dunia pers sebagaimana para wartawan bekerja. Mulai dari soal penyampaian materi konferensi pers, editor bahasa teks realese, materi hingga style siaran radio/televisi, semuanya menjadi bagian keseharian dalam dunia PR.
Kustadi memberikan paparan mengenai fungsi media massa sebagai medium penghubung antara perusahaan dan pihak luar dengan mengedepankan asas profesionalitas dan etika media massa.
Maka, jelaslah siapa pun orangnya yang bekerja dalam PR bukan hanya berfungsi menjalankan tugasnya sebagai bawahan direktur atau manager, melainkan juga harus bisa menjalankan pekerjaan sebagai jurnalis bahkan biro iklan yang handal. Uraian mengenai seluk beluk media massa serta cara kerjanya, secara panjang lebar akan kita dapatkan dalam buku ini.

Wacana PR dalam dunia bisnis sekarang ini tampaknya harus terus dikembangkan secara dinamis baik dalam tataran akademis maupun praksis di perusahaan dan organisasi manapun. Fungsi PR sekarang ini bukanlah sekadar formalitas untuk menampung pengangguran di sebuah perusahaan.
Sebab, berhasil atau tidaknya suatu perusahaan terutama dalam berkomunikasi dengan berbagai pihak sangat bergantung dari misi PR yang dijadikan aparatnya.

Maraknya media massa sebagai medium penghubung menuntut berbagai perusahaan-perusahaan skala menengah dan skala atas di Hong Kong, Jepang, Amerika Serikat, dan beberapa negara di Eropa saat ini melakukan langkah-langkah strategis untuk meningkatkan produktivitasnya dengan memaksimalkan PR, ketimbang sekadar memanfaatkan iklan di berbagai media massa.

Di Indonesia, wacana PR mungkin masih kurang semarak ketimbang negara-negara di atas. Salah satu sebabnya karena PR (sebagai ilmu pengetahuan; sistematis/ilmiah) masih sangat muda usianya. Sebelumnya istilah PR masih terbatas dalam diskursus terbatas dan tidak tersistematisasi.
Bisa dimaklumi jika kemudian banyak orang kita masih menganggap PR tidak terlalu penting dibicarakan secara komprehensif dan mendetail. Wajar pula PR selama ini wacana PR ditempatkan pada posisi yang tidak semestinya, sehingga sering kita dengar banyak para pengusaha di Indonesia pun masih banyak mementingkan sarjana lain ketimbang sarjana PR untuk mengisi lowongan Kepala Humas atau PRO (Public Relations Officer) di perusahaanya.

Akhirnya, tidak sia-sia usaha Kustadi menulis panjang lebar wacana, visi dan arahan praktis bidang Public Relations ini. Sekalipun penulisan Kustadi mengambil gaya penulisan era 80-an yang kurang efektif karena di sana-sini banyak pengulangan pokok bahasan, namun buku ini tetap enak dibaca sebagai konsumsi pengetahuan.
Bukan sekadar pengetahuan normatif yang abstrak, tapi di dalamnya memuat inspirasi-inspirasi yang menyegarkan. Bagi pengelola perusahaan atau organisasi sosial tentu amat penting dijadikan salah satu bacaan.

Sumber : Buku Public Relations: Kajian, Program dan Implementasi

No comments:

Chit Chat